Pengantar
Pada edisi kali ini ingin kami tegaskan bahwa yang kami maksud salafi atau salafiyyun adalah mereka yang betul secata konsisten menerapkan manhaj as salaf dari seluruh sisi ajaran Islam baik aqidah, ibadah, akhlaq, mu’amalah. Yang kita maksud dengan salafiyun adalah mereka para ulama rabbani yang mendalam ilmunya seperti syaikh Abdul Aziz bin baz, Muhammad al-Utsaimin, Nashiruddin al-Albani dll rahimahumullah. Kami risih menamai safiyun anak-anak muda yang baru belajar kemarin lalu tiba-tiba saja esok harinya sudah menjelma seperti kibar. Itulah sebabnya dalam tulisan ini kami mengulang-ulang kata ‘para pengaku salafi’ (PPS) bukan salafiyyun. Kenyataannya kaum PPS ini mendompleng kebesaran ulama kibar dan mencatut ucapan-ucapan mereka guna menghantam saudara-saudara mereka sendiri yang berjuang di jalan Allah.Sebagai tambahan, tulisan ini sengaja ditulis rileks dan tidak dengan gaya ilmiyah. Nama blog ini pun dinamai dengan nama yang santai dan kelihatan renyah ‘salafibeneran’. Tujuannya supaya kita sedikit rileks menghadapi kaum PPS . Selain itu kita juga tidak melihat keilmiyahan tulisan bantahan buat ust. M. Ihsan Zainuddin.
Terakhir kami mohon maaf atas keterlambatan edisi 2 ini.
Apa yang salah dari penamaan Islami itu? Lalu adakah dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah tentang penamaan salafi? Kalau ada, apakah para ulama sudah sepakat dengan penggunaan nama ini? atau adakah yang berpendapat bahwa jika ada seorang Muslim tidak menisbahkan namanya pada kata salafi diragukan kesalafiannya?
Maka, para pengusung Ahlussunnah sudah seharusnya mendahulukan sikap lemah lembut kepada kaum muslimin dalam berdakwah sebab keadaan ahlussunnah pada zaman ini sangat sedikit dan lemah. Keadaannya seperti selembar rambut putih di tengah hamparan rambut hitam. Jika para pengusung dakwah Ahlussunnah berlaku keras apalagi kasar kepada kaum Muslimin dalam menyampaikan Islam ini maka mereka pasti menjauh dari dakwah ini. Kalau di satu daerah, misalnya, ahlul bidahnya mayoritas, lalu para dai ahlussunah bersikap keras, kaku dan seabrek sikap tidak bijak lainnya maka sudah pasti mereka resisten bahkan mereka bisa menindas dan memberangus Ahlussunnah seperti yan kita saksikan di Lombok.
Dan, wallahu a’lam, sampai kabar kepada kami bahwa syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, rujukan utama para pengaku salafi, sangat menyadari hal ini. Akhir-akhir ini, tokoh yang banyak menguliti Sayyid Quthb ini, banyak berubah dengan menganjurkan murid-muridnya agar berlemah lembut dalam berhadapan semua lapisan kaum Muslimin. Kalau kabar ini benar serta betul-betul diimplementasikan oleh murid-muridnya maka ini tentu sebuah kemajuan besar. Mudah-mudahan perubahan ini terjadi setelah keluarnya buku dan peringatan syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad dalam “Rifqan Ahlas Sunnah”. Namun sayang kita tidak melihat bukti berita menggembirakan ini di tengah-tengah lapangan. Para pengaku salafi, wabilkhusus yang ada di Makassar dan sekitarnya, masih saja istiqamah dengan manhaj kasar dan tidak beradabnya dalam mengajak kaum Muslimin.
Pernah suatu hari penulis iseng bertanya kepada salah seorang ustadz mereka, “Kenapa kalian menyesatkan Wahdah?”.
“Karena Wahdah berdemonstrasi”, jawabnya tegas.
“Apa itu demonstrasi?”, sergah penulis.
“Anda tidak tahu demonstrasi? Kalau begitu Anda Jahil!”. Jawabnya mantap.
Saya katakan padanya, “Ya akhi, demonstrasi di Negara yang tegak pemerintahan Islam dan hukum Islam berlaku di sana, jelas-jelas merupakan pembangkangan kepada pemerintah, seperti yang ada di Saudi Arabia atau di negeri Islam menegakkan hukum Allah. Apalagi jika negeri tersebut memberi banyak fasilitas hidup pada rakyatnya serti Saudi, kuwait, UEA, dan negera-negara teluk lainnya. Tapi bagaimana dengan Negara yang tidak menerapkan hukum Islam, bahkan nyata merestui demonstrasi sebagai saluran menyampaikan aspirasi?”.”Kalau ada sekelompok orang yang demo lalu pemerintah menganggap itu sebagai sesuatu yang wajar di alam demokrasi, lalu kenapa yang ngaku-ngaku salafi meradang!!”.
Setelah menyampaikan pertanyaan ini, sang ustadz pengaku salafi tersebut pergi begitu saja dan tidak memberi jawaban.
Perhatikan jalannya dialog singkat di atas
Pertama, kalimat “Kalau begitu Anda Jahil!”, jawaban yang mungkin jika diucapkan di tengah-tengah masyarakat badui yang kurang adab adalah jawaban yang biasa-biasa saja. Tapi ucapan kasar itu, entah diimpor dari mana, diucapkan di tengah masyarakat yang tidak terbiasa dengan ucapan kasar, untunglah penulis memahami betul karakter dasar para pengaku salafi; emosional, selalu merasa benar sendiri, tapi wawasan dan ilmunya...!
Kedua, si pengaku salafi ini langsung pergi setelah diberi sedikit penjelasan tentang demonstrasi. Ini menunjukkan bahwa umumnya mereka yang ngaku-ngaku hanya taklid dari guru mereka yang menyapu rata situasi, kondisi, domosili dimana demo diharamkan. Inilah salah satu bukti betapa sempit wawasan para pengaku salafi. Ini juga semakin menegaskan betapa ilmu saja tidak cukup guna memutuskan hokum. Fatwa, dengan begitu, membutuhkan wawasan sebagai bahan tambahan; seperti: seorang mufti harus mengerti kondisi wilayah tertentu, karakter penduduk suatu tempat dll. Bukankah fatwa bisa berubah sesuai kondisi, waktu dan tempat? Seperti yang ditegaskan oleh Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah. Di sini pulalah kiranya kita mencoba memahami fatwa faqiihuzzaman Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, alaihi rahmatullah, tentang haramnya demonstrasi yang tidak berlaku mutlak di setiap tempat dan keadaan. Wallahu a’lam.
Tentang buku-buku Syaikh Salman, Safar al-Hawaly dan A’idh al-Qarny menurut kami itu adalah buku-buku ilmiyah yang mencoba merespon kondisi kontemporer. Di bawah ini kami sebutkan satu di antara sekian buku-buku mereka:
Kalau para pengaku salafi merasa hidup planet lain dan tidak merasa butuh panduan para pakar dalam merespon realita ummat, maka urusannya jadi lain. Mungkin kalian wahai yang ngaku-ngaku salafi, memang hidup di alam lain.
Wahdah Islamiyah sebagai ormas yang bergerak dibidang dakwah, sosial, pendidikan dan lingkungan hidup sudah seharusnya menjalin hubungan dengan berbagai pihak dalam rangka ta’awun alal birr wattaqwa termasuk dengan pihak pemerintah. Ini dibuktikan dengan intensnya ormas yang lahir di Makassar ini menjalin kerjasama dengan pihak pemerintah dalam berbagai bentuk acara baik di bidang dakwah, sosial, pendidikan maupun lingkungan hidup. Dan puncak keakraban wahdah dengan pemerintah adalah ketika wapres M. Jusuf Kalla berkenan hadir membuka muktamar Wahdah di Masjid al-Markaz.
Bagaimana dengan kalian, wahai yang ngaku-ngaku salafi, sudahkah Anda mengunjungi salah satu unsur pemerintah dan menasehati mereka, atau menjalin kerjasama dengan mereka atau bahkan membaiat mereka? Sayang, para pengaku salafi cuma berani berkoar-koar menuduh sana-sini bahwa wahdah menentang pemerintah. Sungguh pernyataan yang jauh panggang dari api. Kalau begini kenyataan para pengaku salafi ,terutama kalian yang bersarang di Baji Rupa, maka berarti kalian betul-betul hidup di alam lain sehingga kalian mereka tidak mengetahui perkembangan dunia luar.
Alhamdulillah, Wahdah Islamiyah selama ini telah menunjukkan kerjasamanya yang apik dengan pemerintah dalam berbagai bidang kehidupan; pendidikan, sosial, lingkungan hidup, dakwah dan pembinaan ummat dan banyak lagi. Semua itu tentu bukan untuk dibangga-banggakan sebab semua itu adalah taufik dari Allah azza wajall dan kita tidak bisa berbuat banyak kecuali karena taufikNya. Selebihnya ungkapan ini sekedar bandingan dengan tuduhan dusta yang dilontarakan oleh para pengaku salafi.
Hal lain yang bisa kita ungkapkan, kasian betul para pengaku salafi ini, mereka meminta wahdah menunjukkan realisasi dan bukti ke-ahlussunnahan-mereka di satu sisi, tapi mereka sendiri tidak punya sumbangsih yang nyata terhadap dakwah dan pembinaan ummat. Kerja mereka, hanya menebarkan syubhat di tengah-tengah syabaab (pemuda) yang ingin mempelajari Islam yang lurus. Syubhat yang mereka suntikkan ke dalam benak para syabaab berupa kebencian kepada segenap komponen ummat Islam baik person maupun lembaga-lembaga yang telah memberi sumbangsih bagi kejayaan ummat. ‘Sumbangan’ syubhat sangat berharga yang mereka persembahkan kepada para syabaab ada perasaan bahwa merekalah yang berada di jalan yang benar. Yang lain sesat. Hanya ‘kita’ yang Ahlussunnah yang lain ahlulbid’ah. Cuma ‘kita’ yang firqah najiyah yang lain firaq dhallah. Di sana sini mereka menuduh fulan hizby, organisasi fulanah hizbiyah. Namun sadar atau tidak mereka telah termakan oleh tuduhan mereka sendiri. Yang menuduh hizby jauh lebih hizbiy daripada mereka yang disemprot hizby. Dalam bidang dakwah para pengaku salafi tidak datang di tengah ummat kecuali hanya memporak-porandakan barisan dakwah.
Mana sumbangsih para pengaku salafi terhadap problem sosial? Mana para pengaku salafi saat tsunami di Aceh, gempa Yogjakarta, banjir bandang di Sinjai, atau kebakaran-kebakaran yang banyak terjadi di Makassar pada musim kemarau? Kalau para pengaku salafi mengaku loyal pada waliyyul amr maka bantulah mereka sesekali dalam mengentaskan masalah-masalah social kemasyarakatan sebab pemerintah sendiri belum mampu mengatasi semua problem tersebut. Pernyataan “saya salafi” atau “nahnu salafiyyun” tanpa dibarengi bukti, maka itu tidak cukup. jadi kalau memang ternyata yang ngaku-ngaku salafi belum punya sumbangsih yang nyata terhadap dakwah, pembinaan ummat, penegentasan problem sosial, maka tahan-tahanlah lidah Anda, wahai yang ngaku-ngaku salafi, dari menyemprotkan bisa beracun terhadap saudara-saudara anda sendiri yang telah berusaha memberi faidah kepada ummat ini, siapapun mereka dan dari kelompok manapun. Sebab pernyataan harus dibuktikan dengan realisasi. Rasulullah bersabda, “khairukum anfa’ukum linnaas”.
Ini adalah jawaban buat pernyataan di atas bahwa kami cinta as-Salafusshalih. Hanya saja kami tidak menggembor gemborkan diri sebagai salafi dan berkoar-koar di sana sini. Yang kami lakukan adalah mencoba merealisasikan cinta itu dalam amal nyata dengan memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi ummat ini.
Penulis ingat dengan jawaban syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ketika beliau ditanya tentang boleh tidaknya menyertai jamaah tabligh dalam khuruj-khuruj mereka, maka secara bijak beliau mengatakan boleh mengikuti JT yang ada di sekitar Saudi Arabia. Sebab JT yang ada di sana masih lurus dibanding mereka yang ada di tempat lain.
Perhatikan bagaimana bijaknya beliau. Beliau tidak mengkalim bahwa jamaah tabligh itu samarata di semua tempat.
Begitu juga sebutan neo mu’tazilah secara mutlak buat HT sangat tidak bijak. Seperti kita ketahui, kaum mu’tazilah sangat terkenal dengan sikap mereka yang mengagung-agungkan akal dan cenderung menolak nash-nash syariat yang jelas jika bertentangan dengan akal mereka. Pada masa kita ini sikap menolak dalil-dalil yang tegas justru datang dari kelompok sepilis (sekulerisme, pluralisme dan liberalisme). Kenyataannya para penentang kaum sepilis justru banyak dari kalangan HT. Kalangan HT justru yang paling banyak menggelar dialog publik guna menentang ajaran-ajaran kaum sepilis.
Yang ironi justru yang ngaku-ngaku salafi, tidak punya sumbangsih nyata dalam mengcounter kaum sepilis. Bahkan kenyataan membuktikan, sadar atau tidak sadar, para pengaku salafi sudah menjadi alat musuh Islam untuk memberangus gerakan Islam dan para aktifisnya yang berjuang mengembalikan izzul Islam walmuslimin, Wallahul musta’an.
Terakhir kami mohon maaf atas keterlambatan edisi 2 ini.
- Mudah-mudahan penamaan majalah ini dengan “Al-Islamy”bukanlah timbal balik adanya ketidaksetujuan penulis menisbahkan diri kepada As-Salaf.
Apa yang salah dari penamaan Islami itu? Lalu adakah dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah tentang penamaan salafi? Kalau ada, apakah para ulama sudah sepakat dengan penggunaan nama ini? atau adakah yang berpendapat bahwa jika ada seorang Muslim tidak menisbahkan namanya pada kata salafi diragukan kesalafiannya?
- Kalaupun ada seorang yang tak memberi salam demi memberikan pelajaran kepada seseorang yang memiliki penyimpangan atau kesalahan sebagai bahan koreksi bagi dirinya, maka inipun tak ada salahnya dan memang merupakan perkara yang syar’i.
Maka, para pengusung Ahlussunnah sudah seharusnya mendahulukan sikap lemah lembut kepada kaum muslimin dalam berdakwah sebab keadaan ahlussunnah pada zaman ini sangat sedikit dan lemah. Keadaannya seperti selembar rambut putih di tengah hamparan rambut hitam. Jika para pengusung dakwah Ahlussunnah berlaku keras apalagi kasar kepada kaum Muslimin dalam menyampaikan Islam ini maka mereka pasti menjauh dari dakwah ini. Kalau di satu daerah, misalnya, ahlul bidahnya mayoritas, lalu para dai ahlussunah bersikap keras, kaku dan seabrek sikap tidak bijak lainnya maka sudah pasti mereka resisten bahkan mereka bisa menindas dan memberangus Ahlussunnah seperti yan kita saksikan di Lombok.
Dan, wallahu a’lam, sampai kabar kepada kami bahwa syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, rujukan utama para pengaku salafi, sangat menyadari hal ini. Akhir-akhir ini, tokoh yang banyak menguliti Sayyid Quthb ini, banyak berubah dengan menganjurkan murid-muridnya agar berlemah lembut dalam berhadapan semua lapisan kaum Muslimin. Kalau kabar ini benar serta betul-betul diimplementasikan oleh murid-muridnya maka ini tentu sebuah kemajuan besar. Mudah-mudahan perubahan ini terjadi setelah keluarnya buku dan peringatan syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad dalam “Rifqan Ahlas Sunnah”. Namun sayang kita tidak melihat bukti berita menggembirakan ini di tengah-tengah lapangan. Para pengaku salafi, wabilkhusus yang ada di Makassar dan sekitarnya, masih saja istiqamah dengan manhaj kasar dan tidak beradabnya dalam mengajak kaum Muslimin.
Pernah suatu hari penulis iseng bertanya kepada salah seorang ustadz mereka, “Kenapa kalian menyesatkan Wahdah?”.
“Karena Wahdah berdemonstrasi”, jawabnya tegas.
“Apa itu demonstrasi?”, sergah penulis.
“Anda tidak tahu demonstrasi? Kalau begitu Anda Jahil!”. Jawabnya mantap.
Saya katakan padanya, “Ya akhi, demonstrasi di Negara yang tegak pemerintahan Islam dan hukum Islam berlaku di sana, jelas-jelas merupakan pembangkangan kepada pemerintah, seperti yang ada di Saudi Arabia atau di negeri Islam menegakkan hukum Allah. Apalagi jika negeri tersebut memberi banyak fasilitas hidup pada rakyatnya serti Saudi, kuwait, UEA, dan negera-negara teluk lainnya. Tapi bagaimana dengan Negara yang tidak menerapkan hukum Islam, bahkan nyata merestui demonstrasi sebagai saluran menyampaikan aspirasi?”.”Kalau ada sekelompok orang yang demo lalu pemerintah menganggap itu sebagai sesuatu yang wajar di alam demokrasi, lalu kenapa yang ngaku-ngaku salafi meradang!!”.
Setelah menyampaikan pertanyaan ini, sang ustadz pengaku salafi tersebut pergi begitu saja dan tidak memberi jawaban.
Perhatikan jalannya dialog singkat di atas
Pertama, kalimat “Kalau begitu Anda Jahil!”, jawaban yang mungkin jika diucapkan di tengah-tengah masyarakat badui yang kurang adab adalah jawaban yang biasa-biasa saja. Tapi ucapan kasar itu, entah diimpor dari mana, diucapkan di tengah masyarakat yang tidak terbiasa dengan ucapan kasar, untunglah penulis memahami betul karakter dasar para pengaku salafi; emosional, selalu merasa benar sendiri, tapi wawasan dan ilmunya...!
Kedua, si pengaku salafi ini langsung pergi setelah diberi sedikit penjelasan tentang demonstrasi. Ini menunjukkan bahwa umumnya mereka yang ngaku-ngaku hanya taklid dari guru mereka yang menyapu rata situasi, kondisi, domosili dimana demo diharamkan. Inilah salah satu bukti betapa sempit wawasan para pengaku salafi. Ini juga semakin menegaskan betapa ilmu saja tidak cukup guna memutuskan hokum. Fatwa, dengan begitu, membutuhkan wawasan sebagai bahan tambahan; seperti: seorang mufti harus mengerti kondisi wilayah tertentu, karakter penduduk suatu tempat dll. Bukankah fatwa bisa berubah sesuai kondisi, waktu dan tempat? Seperti yang ditegaskan oleh Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah. Di sini pulalah kiranya kita mencoba memahami fatwa faqiihuzzaman Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, alaihi rahmatullah, tentang haramnya demonstrasi yang tidak berlaku mutlak di setiap tempat dan keadaan. Wallahu a’lam.
- Namun kami tidaklah memakai kitab-kitab A’idh Al-Qorny, Salman, Safar Al-Hawaly sebagai rujukan dan kitab kajian.
Tentang buku-buku Syaikh Salman, Safar al-Hawaly dan A’idh al-Qarny menurut kami itu adalah buku-buku ilmiyah yang mencoba merespon kondisi kontemporer. Di bawah ini kami sebutkan satu di antara sekian buku-buku mereka:
- Kitab Laa Tahzan adalah buku populer yang merespon keadaan manusia kontemporer yang dilanda stress berat menghadapi problem kehidupan yang dibelit oleh kegagalan, prustasi, stress berkepanjangan. Tidak terkecuali ummat kaum Muslimin. Tapi, hasilnya luar biasa, karena isinya sangat universal maka ia mampu menyentuh hati dan mengobati derita jiwa manusia-manusia yang ada di timur dan di barat baik yang ada Muslim maupun yang kafir. Menurut berita yang terpercaya, penulis buku tidak mendapat sesen pun royalti dari “ledakan" penjualan bukunya.
- Kitab Silsilatul Ghurabaa’ yang ditulis Syaikh Salman adalah buku ilmiyah berisi panduan kepada para aktivis dakwah dalam menepis ghurbatul ummah. Buku ini berangkat dari qiraatun jadiidah fis siiratin nabawiyah (studi kontemporer dalam menanalisa peristiwa dalam sierah). Dalam buku ini penulis mencoba mengktualisasikan peristiwa-peristiwa sirah di masa Rasulullah agar lebih aktual dengan kondisi kekinian kita hari ini
- Al- ilmaniyah dan Fikrul irjaa’, masing-masing merupakan tesis master dan desertasi doctor syaikh Safar Abdurrahman al-Hawali-hafizhahullah. Dua buku yang berisi respon keadaan kaum muslimin yang terseret oleh pemikiran murji’ah dan sekularisme.
Kalau para pengaku salafi merasa hidup planet lain dan tidak merasa butuh panduan para pakar dalam merespon realita ummat, maka urusannya jadi lain. Mungkin kalian wahai yang ngaku-ngaku salafi, memang hidup di alam lain.
- Sebagian aqidah kita memang sama, namun kami tak merusak aqidah kami dengan mengadakan demo, menceritakan kejelekan pemerintah muslim, dan juga tidak membenci mereka.
- Benar anda mencintai Salaf. Namun kecintaan kepada suatu kaum tidaklah cukup dengan sekedar pernyataan, bahkan harus dibarengi dengan realisasi.
- Dan ternyata Wahdah turut ambil andil dalam demo sebagai benih kebencian kepada pemerintah
Wahdah Islamiyah sebagai ormas yang bergerak dibidang dakwah, sosial, pendidikan dan lingkungan hidup sudah seharusnya menjalin hubungan dengan berbagai pihak dalam rangka ta’awun alal birr wattaqwa termasuk dengan pihak pemerintah. Ini dibuktikan dengan intensnya ormas yang lahir di Makassar ini menjalin kerjasama dengan pihak pemerintah dalam berbagai bentuk acara baik di bidang dakwah, sosial, pendidikan maupun lingkungan hidup. Dan puncak keakraban wahdah dengan pemerintah adalah ketika wapres M. Jusuf Kalla berkenan hadir membuka muktamar Wahdah di Masjid al-Markaz.
Bagaimana dengan kalian, wahai yang ngaku-ngaku salafi, sudahkah Anda mengunjungi salah satu unsur pemerintah dan menasehati mereka, atau menjalin kerjasama dengan mereka atau bahkan membaiat mereka? Sayang, para pengaku salafi cuma berani berkoar-koar menuduh sana-sini bahwa wahdah menentang pemerintah. Sungguh pernyataan yang jauh panggang dari api. Kalau begini kenyataan para pengaku salafi ,terutama kalian yang bersarang di Baji Rupa, maka berarti kalian betul-betul hidup di alam lain sehingga kalian mereka tidak mengetahui perkembangan dunia luar.
Alhamdulillah, Wahdah Islamiyah selama ini telah menunjukkan kerjasamanya yang apik dengan pemerintah dalam berbagai bidang kehidupan; pendidikan, sosial, lingkungan hidup, dakwah dan pembinaan ummat dan banyak lagi. Semua itu tentu bukan untuk dibangga-banggakan sebab semua itu adalah taufik dari Allah azza wajall dan kita tidak bisa berbuat banyak kecuali karena taufikNya. Selebihnya ungkapan ini sekedar bandingan dengan tuduhan dusta yang dilontarakan oleh para pengaku salafi.
Hal lain yang bisa kita ungkapkan, kasian betul para pengaku salafi ini, mereka meminta wahdah menunjukkan realisasi dan bukti ke-ahlussunnahan-mereka di satu sisi, tapi mereka sendiri tidak punya sumbangsih yang nyata terhadap dakwah dan pembinaan ummat. Kerja mereka, hanya menebarkan syubhat di tengah-tengah syabaab (pemuda) yang ingin mempelajari Islam yang lurus. Syubhat yang mereka suntikkan ke dalam benak para syabaab berupa kebencian kepada segenap komponen ummat Islam baik person maupun lembaga-lembaga yang telah memberi sumbangsih bagi kejayaan ummat. ‘Sumbangan’ syubhat sangat berharga yang mereka persembahkan kepada para syabaab ada perasaan bahwa merekalah yang berada di jalan yang benar. Yang lain sesat. Hanya ‘kita’ yang Ahlussunnah yang lain ahlulbid’ah. Cuma ‘kita’ yang firqah najiyah yang lain firaq dhallah. Di sana sini mereka menuduh fulan hizby, organisasi fulanah hizbiyah. Namun sadar atau tidak mereka telah termakan oleh tuduhan mereka sendiri. Yang menuduh hizby jauh lebih hizbiy daripada mereka yang disemprot hizby. Dalam bidang dakwah para pengaku salafi tidak datang di tengah ummat kecuali hanya memporak-porandakan barisan dakwah.
Mana sumbangsih para pengaku salafi terhadap problem sosial? Mana para pengaku salafi saat tsunami di Aceh, gempa Yogjakarta, banjir bandang di Sinjai, atau kebakaran-kebakaran yang banyak terjadi di Makassar pada musim kemarau? Kalau para pengaku salafi mengaku loyal pada waliyyul amr maka bantulah mereka sesekali dalam mengentaskan masalah-masalah social kemasyarakatan sebab pemerintah sendiri belum mampu mengatasi semua problem tersebut. Pernyataan “saya salafi” atau “nahnu salafiyyun” tanpa dibarengi bukti, maka itu tidak cukup. jadi kalau memang ternyata yang ngaku-ngaku salafi belum punya sumbangsih yang nyata terhadap dakwah, pembinaan ummat, penegentasan problem sosial, maka tahan-tahanlah lidah Anda, wahai yang ngaku-ngaku salafi, dari menyemprotkan bisa beracun terhadap saudara-saudara anda sendiri yang telah berusaha memberi faidah kepada ummat ini, siapapun mereka dan dari kelompok manapun. Sebab pernyataan harus dibuktikan dengan realisasi. Rasulullah bersabda, “khairukum anfa’ukum linnaas”.
Ini adalah jawaban buat pernyataan di atas bahwa kami cinta as-Salafusshalih. Hanya saja kami tidak menggembor gemborkan diri sebagai salafi dan berkoar-koar di sana sini. Yang kami lakukan adalah mencoba merealisasikan cinta itu dalam amal nyata dengan memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi ummat ini.
- Tuduhan apa yang membingungkan kalian? Bukankah kalian berdemo, mempertahankan manhaj muwazah yang mubtada’ah, duduk bersama ahli bid’ah. Ini bukan tuduhan. Bahkan waqi’unal yaum.
- sufiyyah modern (baca: Jama’ah Tabligh), kepada kelompok da’wah Neo Mu’tazilah(baca: HT)
Penulis ingat dengan jawaban syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ketika beliau ditanya tentang boleh tidaknya menyertai jamaah tabligh dalam khuruj-khuruj mereka, maka secara bijak beliau mengatakan boleh mengikuti JT yang ada di sekitar Saudi Arabia. Sebab JT yang ada di sana masih lurus dibanding mereka yang ada di tempat lain.
Perhatikan bagaimana bijaknya beliau. Beliau tidak mengkalim bahwa jamaah tabligh itu samarata di semua tempat.
Begitu juga sebutan neo mu’tazilah secara mutlak buat HT sangat tidak bijak. Seperti kita ketahui, kaum mu’tazilah sangat terkenal dengan sikap mereka yang mengagung-agungkan akal dan cenderung menolak nash-nash syariat yang jelas jika bertentangan dengan akal mereka. Pada masa kita ini sikap menolak dalil-dalil yang tegas justru datang dari kelompok sepilis (sekulerisme, pluralisme dan liberalisme). Kenyataannya para penentang kaum sepilis justru banyak dari kalangan HT. Kalangan HT justru yang paling banyak menggelar dialog publik guna menentang ajaran-ajaran kaum sepilis.
Yang ironi justru yang ngaku-ngaku salafi, tidak punya sumbangsih nyata dalam mengcounter kaum sepilis. Bahkan kenyataan membuktikan, sadar atau tidak sadar, para pengaku salafi sudah menjadi alat musuh Islam untuk memberangus gerakan Islam dan para aktifisnya yang berjuang mengembalikan izzul Islam walmuslimin, Wallahul musta’an.