Selasa, 10 Maret 2009

Agar Para Pengaku Salafi Mau Berpikir Lurus (1)


Oleh: Abu Hamnah as-Salafi
Situs almakassari.com beberapa waktu lalu memuat tulisan yang membantah tulisan Ustadz M.uhammad Ihsan Zainuddin, Lc., M.Si. yang berjudul "Renungan Agar Tidak Berpikir Picik". Dalam tulisan tersebut bukan cuma banyak keanehan-keanehan yang bercampur kepicikan berpikir tetapi dibumbui oleh kedustaan-kedustaan. Karena itu, kami terpanggil membantah tulisan tersebut. Berikut bagian I bantahan tulisan tersebut yang saya beri judul "Agar Para Pengaku Salafi Mau Berpikir Lurus".

"(Ingatlah) diwaktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut, dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikitpun, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja . Padahal di sisi Allah adalah (perkara yang sangat) besar.” (QS.An-Nur:15)

Namun disayangkan sekali pada edisi ke-2, tahun I/1426 H terdapat sebuah artikel yang menyayat hati dan berisi tuduhan-tuduhan yang tidak benar.
  • Inilah di antara karakter dasar dari al-Mudda-i bissalafiah (kita enggan menyebut mereka salafiyun), merekalah sesungguhnya sangat pandai mengkritik bahkan menyayat hati saudara-saudaranya dengan gempuran kritiknya yang tidak beradab. Tapi sayang tidak pernah merasa menyayat hati saudaranya. Giliran mereka yang dikritik bahkan dengan bahasa yang sangat santun sekalipun mereka sudah merasa sangat tersayat…! Ungkapan orang Arab sangat cocok buat mereka “kamaa tadiinu Tudaan” sebagaimana anda memperlakukan orang lain begitu pulalah anda diprlakukan
Ketika membaca tulisan itu baris demi baris, saya temukan berisi tuduhan dan kedustaan pada orang lain. Semoga saja tuduhan dan kedustaan itu bukan ditujukan pada Salafiyyin.
  • Tulisan al-Ustadz Muhammad Ihsan memang tidak ditujukan untuk Salafiyyun sebab yang terbayang dalam benak kita, Salafiyyun adalah mereka yang santun, ramah dan lembut kepada saudara-saudaranya sesama Muslim. Kalaupun mereka -Salafiyyun-mengkritik, maka kritikan mereka adalah kritikan yang yang menyejukkan. Kritikan-kritikan itu menjadikan yang dikritik sadar dan mau meluruskan sikapnya. Yang terbayang dalam benak kita saat menyebut Salafiyyun adalah Syaikh Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, para ulama rabbani yang memiliki ilmu luas dan mendalam. Tidakkah para pengaku salafiyyun mau meneladani Syaikh Ibnu Baz yang selalu bersikap lembut dan ramah hatta dalam mengkritik mereka yang nyata-nyata memiliki penyimpangan aqidah.
  • Jadi tidak pernah menganggap antum (pengelola situs almakassari.com dan yang berafiliasi dengannya) sebagai salafiyyun. Justru kritikan dalam tulisan ustadz Ihsan tersebut ditujukan kepada mereka para al-Mudda’i bissalafiah (para pengaku salafi) yang hanya ngaku-ngaku salafi padahal sesungguhnya salafussalih berlepas diri dari sepak terjang mereka. Bukankah salafi sejati itu ber-tatsabbut dulu baru melontarkan kritikan? Bukankah salafi sejati itu menerapkan manhaj al-jarhu watta’dil, menggunakan timbangan keadilan jika mereka menilai saudara mereka?
  • Yang kita lihat pada mereka para al-Mudda’i bissalafiah justru melontarkan tuduhan-tuduhan dusta kepada saudara-saudara mereka. Bahkan tidak jarang mereka melontarkan tuduhan-tuduhan yang berisi provokasi yang mengundang orang-orang zalim menganiyaya saudara mereka sendiri. Sebut saja misalnya para pengaku salafi gemar melontarkan tuduhan teroris khawarij kepada mereka yang memilih jalan jihad.
  • Para pengaku salafiyyun telah menggiring opini publik bahwa mereka yang berjuang mengembalikan izzul Islam walmuslimin dengan firah jihad pasti teroris. Lihatlah lidah dan bibir para al-mudda’i bissalafiyah berlumurah darah dengan mencederai kehormatan mereka yang telah wafat di jalan Allah seperti Abdullah Azzam, Sayyid Quthb, Hasan al-Banna, Ahmad Yasin dll.
Mana bukti bahwa salafiyyin mengoyak dan membuat luka dalam kebersamaan?
  • Ini buktinya para pengaku salafi mengoyak dan membuat luka dalam kebersamaan. Kami akan sebutkan! salah satu di antaranya adalah Antum al-Mudda’i bissalafiah jika ingin menyebut penyimpangan Wahdah Islamiyah selalu mengangkat masalah demonstrasi. Entah berapa kali kata demokrasi ini disebut dalam kritikan buat ustadz Ihsan. Saking seringnya kata demonstrasi diangkat sehingga seakan-akan demokrasi adalah al-Muubiqaat dan pembatal-pemabatal amal. Pertanyaan buat Antum:
  1. Tanggal, hari, bulan, tahun berapa dan momen apa dan di gedung pemerintah yang mana Antum melihat Wahdah Islamiyah demonstrasi dengan mengerahkan massa baik kecil-kecilan maupun besar-besaran? inkuntum shaadiqin. Adakah dalam demo tersebut cacian, sumpah serapah kepada penguasa sebagai ‘illah para ulama yang mengharamkan demokrasi? Kalau Antum mampu memberi data lengkap tentang pertanyaan-pertanyaan di atas maka pada antum ada ciri-ciri salafi. sebab memang begitulah salafi sejati, mereka adalah orang-orang yang selalu tatsabbut dengan kebenaran info yg mereka perpegangi. Haati burhaanakum inkuntum shadiqin…!
  2. Kalau benar tuduhan kalian bahwa WI pernah demo dan antum punya data untuk itu, maka apakah saat ini WI masih rutin berdemo dan menjadikan itu sebagai agenda berkala? Sekali lagi, Kalau ini benar.
  3. Kalau benar tuduhan kalian, bahwa kalian pernah melihat massa WI turun jalan dengan massa, jangan-jangan itu bukan demo tapi pawai. Pawai memang rada mirip dengan demo, cuma bedanya demo mengandung cacian, sumpah serapah kepada pemerintah. Adapun pawai adalah pengerahan massa untuk mengungkapkan aspirasi dengan damai dan santun dan tertib biasanya disertai penyerahan aspirasi dan menghadap kepada pemerintah yang terkait. Pawai ini hampir mirip karnaval, atau arak-arakan yang banyak dilakukan oleh orang-orang musyrik. Kalau kalian-wahai yang ngaku-ngaku salafi- tidak mampu membedakan mana demonstrasi, pawai, arak-arakan, maka itu artinya wawasan kalian betul-betul berwawasan cekak dan tidak mampu bertastabbut dalam menyikapi sebuah masalah atau fenomena. Tapi rasa-rasanya WI juga tidak pernah melakukan hal-hal tersebut di atas, baik pawai, demonstrasi apalagi arak-arakan. Jadi, Haati burhaanakum inkuntum shaadiqin…!
  • Bahkan yang ngaku-ngaku salafi pernah berdemo pada masa Gusdur dahulu kala. Saat itu kalian masih berafiliasi dengan Ja’far Umar Thalib juga berdemo di Gelora Bung Karno, di depan Istana Negara bahkan bawa-bawa samurai, pedang dan golok segala dan ini diblow up besar-besaran oleh media massa. Dan jelas ini adalah bukti yang nyata bahwa para pengaku salafi terjatuh pada tuduhan yang mereka sendiri sering lontarkan kepada pihak lain yaitu al-khuruuju minal hukkam…! Dan bukan rahasia lagi bahwa Zulkarnen, Khaidir, Askari, pernah bergabung di Laskar Jihad yang dipanglimai oleh Ja’far Umar Thalib. Jadi wahai pengaku salafi arahkan dulu panah-panah beracun kalian pada diri antum sendiri sebelum antum melontarkannya kepada yang lain.
  • Para pengaku salafi menyatakan, mereka yang demo adalah gambaran yang nyata dari al-khuruuju minal hukkam, tapi kenapa kalian, wahai pengaku salafi, mengharamkan pemilu? Beberapa waktu lalu MUI sebagai representasi dari waliyyul amr telah mengeluarkan fatwa haramnya golput, itu berarti kalian wajib ikut pemilu, jika kalian tidak mau ikut, apalagi menuduh sesat mereka yang menyalurkan suaranya dalam pemilu berarti kalian telah terjatuh pada bentuk pelanggaran besar yaitu al-khuruuju minal hukkam apalagi kalau kalian memprovokasi orang untuk tidak memilih. Beberapa waktu lalu MUI sulsel dan Jawa Timur telah mengeluarkan fatwa anjuran qunut Naazilah buat saudara-saudara kita di Palestina, tapi Para pengaku salafi di kedua daerah tersebut tidak berqunut naazilah. Bukankah ini sikap yang nyata dari membangkang kepada hukkam dan menyalahi waliyyul amr?
  • Kalau antum wahai, pengaku salafi, merasa paling taat pada pemerintah, maka mana buktinya kalau kalian sudah pernah berbaiat kepada Gus Dur, Megawati dan SBY?
Sebab meluruskan penyimpangan suatu jama’ah merupakan amar ma’ruf nahi munkar yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya Shallallahu alaih Wasallam.
  • Kalian mengaku bermar ma’ruf nahi mungkar, tapi rambu-rambu amar ma’ruf kalian abaikan dan injak-injak begitu saja. Bukankah tujuan amar ma’ruf nahi mungkar itu bertujuan agar saudara kita kembali kepada kebenaran? Tapi hampir kita tidak melihat maksud yang mulia ini. Ini dibuktikan dengan salah satu laporan di harian kota makasaar ini yang bertendensi memojokkan WI, tapi anehnya almakassari.com justru memuat berita menyesatkan itu dan seakan ingin mengarahkan opini pembaca bahwa WI seperti yang dituduhkan dalam harian tersebut dan sampai sekarang berita dusta itu masih disimpan rapi oleh situs tersebut. Ini artinya, kalian wahai pengaku salafi, memang bermaksud jahat agar saudara kalian dizhalimi. Beginikan akhlak seorang salafi? Mana sikap tatsabbut yang merupakan simaat salafi sejati?
  • Kalian adalah penuntut ilmu syar’i, tapi sayang, ilmu kalian belum matang untuk memilah mana hal-hal yang memang nyata sebagai sebuah penyimpangan dan mana hal-hal yang ada perselisihan di kalangan ulama kita.
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS.Al-Ahzab:58)

Apakah anda menginginkan kami diam dari penyimpangan kalian ataukah anda ingin menyamakan diri anda sama dengan diri kami dalam segala hal sehingga seakan-akan tak ada masalah diantara kita. Jika ini yang anda inginkan, maka sulit.
  • Kami sama sekali tidak anti diingatkan bahkan kita senang kalau ada saudara kita yang mengingatkan. Namun, sayang para pengaku salafi yang kebanyakannya masih muda itu tidak menegakkan etika salafus shalih dalam memberi nasehat. Kalian wahai para pengaku salafi tidak pernah datang baik-baik ke markaz Wahdah mengecek, meminta penjelasan tentang kebenaran informasi yang kalian jadikan dasar dalam membid'ahkan dan menyesatkan Wahdah. Justru informasi yang ada pada kalian tentang WI adalah info yang sudah basi, dipungut di pinggir-pinggir jalan dan bercampur dengan kekotoran hati para pendengki. Dengan modal inikah kalian menyesatkan dan membidahkan? Beginikah akhlak seorang salafi? Mana sikap tatsabbut yang merupakan simaat salafi sejati?
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS.Al-Ahzab:58).

Jika sekedar pengalaman, maka ana sendiri pernah mengalami ada seorang aktivis Wahdah saya beri salam beberapa kali dan ana tetap berdiri menunggu jawaban salam dan uluran tangannya, namun ia tak membalasnya.
  • Di sinilah berlaku sebuah ungkapan, “kamaa tudiinu tudaan”, seperti apa anda memperlakukan seseorang begitu pulalah anda diperlakukan. Setelah para ustadz yang mengaku mengusung dakwah salafiyah menebar tuduhan dusta tentang Wahdah Islamiyah, maka sejak itu murid-murid mereka mengambil jarak. Salah satu satunya tidak menjawab salam mereka yang tertuduh sebagai ahlul bid'ah. Jadi siapa yang memulai? Kalau Antum memberi salam tapi tidak dijawab dan tangan antum tidak dijabat oleh seorang yang antum akui sebagai aktivis Wahdah maka telanlah kepahitan itu dan nikmatilah itu semua, sebab kamaa tudiinu tudaan.
Kalaupun ada seorang yang tak memberi salam demi memberikan pelajaran kepada seseorang yang memiliki penyimpangan atau kesalahan sebagai bahan koreksi bagi dirinya, maka inipun tak ada salahnya dan memang merupakan perkara yang syar’i.
  • Inilah salah satu kepicikan berpikir para ngaku-ngaku salafi. Jika mereka menerapkan sikap yang pernah diamalkan oleh seorang ulama yaitu mendiamkan ahli bid'ah, maka mereka juga mau menerapkan prinsip atau sikap tersebut disetiap waktu dan tempat. Padahal sikap tersebut belum tentu cocok diterapkan disemua tempat dan waktu. Hal ini sangat nampak dari perbedaan sikap yang diambil oleh dua Imam Ahlussunnah; Imam Ahmad dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Imam Ahmad bersikap tegas terhadap ahlul bid'ah dan tidak berhubungan sama sekali dengan mereka, bahkan ketika beliau mendengar salah seorang putranya menerima bantuan rumah dari khalifah yang berkuasa saat itu maka beliau pun tidak mengajak bicara putranya tersebut sampai beliau meninggal. Beliau ingin menunjukkan ketegasan beliau terhadap para pelaku bid'ah. Bandingkan dengan sikap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, saat musuh beliau meninggal dunia, maka beliau menyatakan menanggung semua kebutuhan keluarga musuhnya tersebut (seorang pentolan ahlul bid'ah di zamannya) yang meninggal tersebut.